Penjelasan Sifat Wajib | Mustahil Rasul

Pengertian Sifat Wajib dan Sifat Mustahil Bagi Para Rasul Serta Hikmah Mempelajarinya



السلام عليكم ورحمة الله 
 الحمد لله الغفور الرحيم، والصلاة والسلام على رسوله الكريم 
Penjelasan Sifat Wajib dan Mustahil Bagi Rasul,- Ada 4 sifat wajib bagi rasul juga 4 sifat mustahil bagi Rasul. Pada postingan ini akan dibahas sifat-sifat wajib bagi rasul dalam kitab jaoharotu at-Tauhid berikut hikmah dari mempelajari sifat wajib dan sifat mustahil bagi Rasul. Temasuk, dalam artikel ini akan dilampirkan sebagian dalil al-Qur'an mengenai sifat rasul dan sifat mustahilnya
Penjelasan Sifat Wajib | Mustahil Rasul

Imam Al-Laqooni mengatakan:
وَوَاجِب فِيْ حَقِّهِمُ الأَمَانَةُ # وَصِدْقُهُمْ وَضِفْ لَهُ الْفَطَانَةُ
وَمِثْلُ ذَا تَبْلِيْغُهُمْ لِمَا أُتُـوْا # وَيَسْتَحِيْلُ ضِدُّهَا كَمَا رَوَوْا
“Para Rosul wajib (menurut akal) memiliki sifat amanah, sidiq dan fathonah
Demikian pula mereka wajib menyampaikan (tabligh) apa yang telah mereka terima (kitab). Mustahil bagi mereka kebalikan dari sifat-sifat tadi sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh para ulama”


Dari bait tersebut, Sifat bagi Rasul ada yang wajib dan ada yang mustahil. Yaitu:

A. SIFAT WAJIB

Sifat yang wajib bagi Rosul menurut akal, tapi tetap mengacu pada syara’adalah sebagai berikut:

1. اَلأَمَانَةُ(konsekuen). Artinya:

حِفْظُ ظَوَاهِرِهِمْ وَبَوَاطِنِهِمْ مِنَ التَّلَبُّسِ بِمَنْهِيٍّ عَنْهُ وَلَو نَهَى كَرَاهَةً أَوْ خِلاَفُ الأَوْلَى
“Dhohir dan bathin mereka terjaga dari melakukan hal-hal yang dilarang sekalipun makruh ataupun khilaful aula”
Oleh karena itu dhohir mereka terjaga dari hal-hal yang haram seperti zina, minum arak dan lain-lain. Bathin mereka terhindar dari iri dengki, sombong, riya dan sebagainya bahkan sebelum mereka menjadi rosul. Demikian pula mereka terjaga dari hal-hal yang makruh, khilaful aula dan mubah.
Adapun jika hal-hal mubah ada yang dilakukan oleh para Rosul, maka itu dilakukan dengan maksud pen-syari’at-an baik wajib atau sunat. Umpamanya, Rosul SAW berwudlu dengan sekali basuhan pada tiap anggota wudlu sedangkan pada kesempatan lain beliau wudlu dengan dua kali basuhan pada tiap anggota wudlu, Rosul SAW minum dan kencing sambil berdiri, itupun menjadi syari’at bagi umatnya. Jadi, perbuatan Rosul AS itu hanya berkisar antara wajib dan sunat.
Apabila ada perbuatan para Rosul yang "mengesankan" maksiat, maka ditakwil dengan kategori:
حَسَنَاتُ الأَبْرَارِ سَيِّئَةُ الْمُقَرَّبِيْنَ
“Kebaikan orang-orang baik merupakan kejelekan bagi orang-orang yang dekat (dengan Alloh)”
Tetapi tidak boleh dikatakan maksiat kecuali dengan maksud memperjelas. Termasuk, maksiat yang dilakukan Nabi Adam, tidak sama seperti maksiat-maksiat lain yang dilakukan oleh manusia biasa karena ada rahasia yang tersimpan antara Nabi Adam dan tuhannya. Yakni, secara dhohir memang perbuatan Nabi Adam itu dilarang, tetapi substansinya hal itu (seakan-akan) diperintah. Mengenai peristiwa ini, Abu Madyan berkata: “Seandainya aku menjadi Nabi Adam, bukan hanya buahnya yang aku makan, pohon itu pun pasti sudah kumakan seluruhnya”
Dalil ‘aqliy yang menunjukkan bahwa para rosul wajib bersifat amanah:
لَوْ خَانُوْا بِفِعْلِ مُحَرَّمٍ أَوْ مَكْرُوْهٍ أَوْ خِلاَفِ الأَوْلَى لَكُنَّا مَأْمُوْرِيْنَ بِهِ لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى أَمَرَ بِاتِّبَاعِهِمْ فِيْ أَقَوَالِهِمْ وَأَفْعَالِهِمْ وَأَحْوَالِهِمْ مِنْ غَيْرِ تَفْصِيْلٍ وَهُوَ تَعَالَى لاَ يَأْمُرُ بِمُحَرَّمٍ وَلاَ مَكْرُوْهٍ وَلاَ خِلاَفِ الأَوْلَى فَلاَ تَكُوْنُ أَفْعَالُهُمْ مُحَرَّمَةً وَلاَ مَكْرُوْهَةً وَلاَ خِلاَفَ الأَوْلَى
“Jika para Rosul khianat (kebalikan amanah) dengan melakukan hal-hal yang haram, makruh atau khilaful aula maka pasti kita disuruh untuk melakukan hal-hal tadi karena Alloh menyuruh kita untuk mengikuti mereka dalam ucapan, perbuatan dan keadaan mereka tanpa terperinci. Tapi kita tidak disuruh melakukan hal-hal tadi, itu artinya perbuatan para Rosul itu tidak dalam hal haram, makruh dan tidak pula khilaful aula”
Jika demikian, maka meskipun dalil ini dalam bentuk dalil ‘aqliy, tapi sebenarnya merupakan dalil syar'iy sebab menjadikan syari’at sebagai acuan, yakni: إنَّ اللهَ لاَ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَآءِ. Sehingga logisnya adalah logis Syar’iy (logis yang mengacu pada syari’at).

2. الصِّدْقُ (jujur/integritas). Ialah:

مُطَابَقَةُ خَبَرِهِمْ لِلْوَاقِعِ وَلَوْ بِحَسَبِ اعْتِقَادِهِمْ
“Kesesuaian berita yang disampaikan mereka dengan kenyataan meskipun sebatas anggapan mereka”
Seperti anggapan Rosul SAW bahwa beliau tidak lupa ketika melakukan sholat Dhuhur (sebagian menyebutkan sholat Ashar), Rosul membaca salam pada rokaat kedua. Dzul Yadain bertanya:
أَقَُصِرَتِ الصَّلاَةُ أَمْ نَسِيْتَ يَا رَسُوْلُ اللهِ؟. قَالَ: كُلُّ ذلِكَ لَمْ يَكُنْ
“Apakah Engkau mengqoshor sholat atau lupa wahai Rosulullah?, Rosul menjawab: keduanya itu tidak terjadi”
Karena seseorang tidak akan menyadari apa yang dia lakukan selama lupa dan juga tidak akan disalahkan / disiksa karena lupa. Maka dari itulah jawaban Rosul pada Dzul Yadain sesuai dengan kenyataan menurut anggapan beliau karena beliau tidak menyadarinya (lupa)
Suatu hari Rosul SAW berkata kepada petani yang sedang mengawinkan kurma:
لَوْ تَرَكْتُمُوْهَا لَصَلُحَتْ 
“Andaikata kalian tidak mengwinkannya pasti hasilnya mulus”
Lalu mereka membiarkan kurma itu (tidak dikawinkan), ternyata hasil kurma itu jelek. Bagaimana dengan perkataan Rosul dalam peristiwa tersebut (seolah-olah perkataan Rosul itu bohong)?
Perkataan Rosul SAW dalam peristiwa tersebut bukan merupakaى berita (خَبَرٌ), melainkan sebuah harapan (إنْشَاءٌ) dari beliau. Sedangkan sebuah harapan tidak bisa dibenarkan juga tidak bisa dibohongkan.
Adapun dalil ‘aqliy yang menunjukan kewajiban sifat الصِّدْقُ bagi para Rosul:
لَوْ لَمْ يَصْدُقُوْا لَلَزِمَ الْكَذِبُ فِيْ خَبَرِهِ تَعَالَى لِتَصْدِيْقِهِ تَعَالَى لَهُمْ بِالْمُعْجِزَةِ النَّازِلَةِ مَنْزِلَةَ قَوْلِهِ تَعَالَى: صَدَقَ عَبْدِيْ فِي كُلِّ مَا يُبَلِّغُ عَنِّيْ
“Seandainya para rosul tidak jujur (berbohong) pasti ada kebohongan dalam berita Alloh SWT karena Alloh telah membenarkan para rosul dengan mu’jizat yang menempati posisi firman Alloh: rosulku jujur dalam segala perkara yang dia sampaikan dariKu” 
Jika membenarkan kebohongan adalah suatu kebohongan; jika Alloh membenarkan kebohongan para rosul, maka Alloh pun berbohong. Sedangkan Alloh berbohong adalah suatu yang mustahil karena tidak ada kepentingan bagi Alloh untuk berbohong dan juga biasanya dorongan untuk berbohong adalah rasa takut. Tegasnya, jika kebohongan para rosul sudah mustahil, maka الصِّدْقُ wajib bagi mereka.
Tapi dalil ini hanyalah menunjukkan kebenaran rosul dalam pengakuan risalah dan hukum-hukum syara’. Maksudnya, mukjizat hanya merupakan pembenaran terhadap rosul dalam pengakuan kerisalahannya dan hukum syara’. Adapun selain pengakuan kerisalahan dan hukum syara’, umpamanya rosul menyampaikan: “Zaid berdiri” (ini bukan pengakuan risalah juga bukan hukum syara’). Untuk hal semacam itu sebenarnya telah tercakup dalam dalil sifat amanah. 
Ringkasnya, الصِّدْقُ terbagi menjadi tiga bagian:
1. الصِّدْقُ فِي دَعْوَى الرِّسَالَةِ
“Jujur dalam pengakuan risalah”
2. الصِّدْقُ فِي الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ
“Jujur dalam hukum-hukum syara’”
3. الصِّدْقُ فِيْ غَيْرِ هِمَا
“Jujur dalam selain yang dua tadi”. Ini telah tercakup dalam sifat amanah

3. الْفَطَانَةُ (cekatan/cerdas/sensitif terhadap permasalahan). Ialah:

التَّفَطُّنُ وَالتَّيَقُّظُ لِإِلْزَامِ الْـخُصُوْمِ وَإبْطَالِ دَعَاوِيْهِمْ الْبَاطِلَةُ
“Kecerdasan dan siap siaga untuk menghadapi musuh-musuh dan menyatakan bathil pengakuan-pengakuan meeka yang memang bathil”
Dalil untuk sifat fathonah adalah sebagai berikut:
- وَتِلْكَ حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إبْرَاهِيْمَ
“Itulah hujjah yang kami berikan kepana Ibrohim” 
- قَدْ جَادَلْتَنَا فَأَكْثَرْتَ جِدَالَنَا
”Engkau (Nuh) telah banyak mengajak kami berdebat”
- وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Berdebatlah (bantahlah argumen) mereka dengan perdebatan yang baik”
Dari ayat-ayat di atas, kita bisa memahami bahwa seandainya para rosul tidak bersifat الْفَطَانَةُ, mana mungkin mereka bisa mematahkan argumen-argumen bathil kaumnya. Meskipun ayat-ayat ini hanya menceritakan sebagian para nabi dan rosul, tetapi sifat kesempurnaan (termasuk sifat al-fathonah) yang ada pada sebagian rasul, berlaku pula untuk sebagian yang lain. Jadi sifat fathonah ada pada semua rosul dan para nabi. Hanya saja, para nabi memiliki fathonah semata (مُطْلَقُ الْفَطَانَةِ), sedangkan para rosul memiliki kesempurnaan fathonah (كَمَالُ الْفَطَانَةِ).

4. التَّبْلِيْغُ (menyampaikan)

Maksud التَّبْلِيْغُ adalah menyampaikan apa yang memang diperintahkan untuk disampaikan kepada umatnya. Karena hal-hal yang datang dari Alloh kepada para rosul ada tiga macam:
a. yang wajib disampaikan
b. yang tidak wajib disampaikan 
c. yang diberi pilihan untuk disampaikan atau tidak
Dalil ‘aqliy untuk sifat tabligh adalah:
لَوْ كَتَمُوْا شَيْئًا مِمَّا أُمِرُوْا بِتَبْلِيْغِهِ لِلْخَلْقِ لَكُنَّا مَأْمُوْرِيْنَ بِكِتْمَانِ الْعِلْمِ لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى أَمَرَنَا بِالْإِقْتِدَاءِ بِهِمْ
“Seandainya para rosul menyembunyikan sebagian hal yang diperintah untuk disampaikannya kepada makhluq, niscaya kita pun disuruh untuk menyembunyikan ilmu karena Alloh Ta’ala menyuruh kita untuk mengikuti mereka”
Padahal yang terjadi justru menyembunyikan ilmu itu dilaknat, seandainya boleh, pasti pimpinan para rosul yang agung SAW telah lebih dahulu melaksanakannya. Adapun mengenai firman Alloh:
وَإِذْتَقُوْلُلِلَّذِيْأَنْعَمَاللهُعَلَيْهِوَأَنْعَمْتَعَلَيْهِأَمْسِكْعَلَيْكَزَوْجَكَوَاتَّقِاللهُوَتُخْفِيْفِينَفْسِكَمَااللهُمُبْدِيْهِوَتَخْشَىالنَّاسَوَاللهُأَحَقُّأَنْتَخْشَاهُ... (الأحزاب: 37)
“Dan (ingatlah) ketika kamu berkata kepada rang yang Allh telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “tahanlah terus isterimu dan bertaqwalah kepada Allh”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, kamu takut (merasa malu) kepada  manusia padahal Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti." (Al-Ahzab: 37)
Maka, sebagaimana ditafsirkan oleh Ali bin al-Husain, ayat ini pemberitahuan dari Allah Ta’ala khusus kepada Nabi Muhammad SAW (tidak perlu disampaikan sebab pasti terjadi) bahwa Zainab kelak akan menjadi isteri beliau. Tatkala Zaid (suami Zainab) mengadu kepada Nabi bahwa dia akan menceraikan Zainab, Nabi berkata sambil menyembunyikan apa yang diberitahukan Allah kepada beliau: “Tahanlah terus isterimu dan bertaqwalah kepada Allah!”. Kemudian Allah merealisasikan hal itu karena pada akhirnya Zaid tetap menceraikan Zainab dan Nabi Muhammad menikahi Zainab. Pada mulanya Nabi SAW malu dikatakan oleh orang-orang bahwa Nabi SAW menikahi Zainab, isteri anak angkatnya (yakni Zaid). Lalu Alloh mengingatkan beliau dengan firman-Nya: واللهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ (makna الْخَشْيَةُ dalam ayat ini adalah merasa malu) 

B. SIFAT MUSTAHIL

Sifat mustahil artinya sifat yang tidak bisa diterima akal jika ada pada para rosul. Sifat mustahil itu adalah:
1. الْخِيَانَةُ (menyalahi) lawan sifat الأمَانَةُ
2. الْكَذِبُ (bohong) lawan sifat الصِّدْقُ
3. الْغَفْلَةُ (tidak cekatan/tidak peka) lawan sifat الْفَطَانَةُ
4. الْكِتْمَانُ (menyembunyikan) lawan sifat التَّبْلِيْغُ

Demikianlah pembahasan tentang sifat wajib dan sifat mustahil bagi Rasul. Hikmahnya bagi kita adalah: Dengan mempelajari sifat wajib berarti seyogianya kita berusaha menerapkan sifat-sifat itu pada diri kita, karena yakin, bahwa sifat-sifat wajib itu adalah sifat yang sangat baik dan tidak semua orang memilikinya secara lengkap dalam dirinya. Sedangkan dengan mempelajari sifat mustahil, berarti kita sedapat mungkin menghindarinya. 
Semoga bermanfaat dan mohon ma'af
Terima kasih
والسلام عليكم ورحمة الله
Previous
Next Post »