Ikhtiar atau Kasab Dalam Tauhid

Kekuasaan Allah, Takdir Allah dan Ikhtiar Manusia Dalam Kehidupan 


السلام عليكم ورحمة الله
الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين وآله وأصحابه أجمعين، وبعد
Takdir Allah dan Ikhtiar Manusia,- Termasuk hal yang wajib diyakini oleh seorang mukmin. Dalam mengarungi kehidupan ini, bagaimanapun yang namanya manusia tidak akan lepas dari pengaturan kekuasaan Allah dan takdir Allah, disamping manusia itu sendiri harus melakukan ikhtiar atau kasab. Tapi, ada sebagian orang yang berkeyakinan bahwa perbuatan manusia itu diciptakan oleh manusia itu sendiri, Allah tidak ikut campur untuk menentukan kesuksesan seseorang. Ada pula yang berkeyakinan bahwa manusia sama sekali tidak punya kekuatan untuk melakukan ikhtiar atau kasab, ia laksana kapas yang dibolak-balik oleh angin. Pada tulisan kali ini, Saya akan mencoba menjelaskan ketiga faham/keyakinan tersebut. 
Ikhtiar atau Kasab Dalam Tauhid

Dalam kitab jauharotu at-Tauhid, Imam al-Laqqoni menyebutkan:
وَعِنْدَنَا لِلْعَبْدِ كَسْبٌ كُلِّفَا # وَلَمْ يَكـُنْ مُؤَثِّـرًا فَلْتَعْرِفَا
فَلَيْسَ مَـجْبُوْرًا وَلاَ اخْتِيَارًا # وَلَيْسَ كُلاًّ يَفْعَلُ اخْتِيـَارًا
فَإِنْ يُثِبْنَا فَبِمَحْضِ الْفَضْلِ # وَإنْ يُعَذِّبْ فَبِمَحْضِ الْعَدْلِ
“Menurut kami (Ahlussunnah) hamba itu memiliki kasab (perbuata) yang dibebankan, 
tapi ketahuilah bahwa perbuatan manusia itu sama sekali tidak menentukan (memiliki pengaruh)
oleh karena itu, seorang hamba itu tidak berarti mesti diam saja tanpa upaya sama sekali,  tidak pula seorang hamba melakukan kasab sesuai kehendak sendiri”

Untuk memahami bait tersebut, kita perlu membahasnya menjadi beberapa bagian berikut:
  • وَعِنْدَنَا, yakni menurut kami Ahlussunnah wal Jama’ah
  • لِلْعَبْدِ كَسْبٌ, yakni seseorang memiliki kasab (perbuatan/pekerjaan) yang menyebabkan adanya sebab-sebab ‘adiy (tercapainya suatu hasil /مُسَبَّبٌ menurut kebiasaan), artinya boleh menisbatkan (mengidentikkan) suatu pekerjaan pada seseorang, bukan pada Allah. Seperti: Anton belajar, dengan pengertian belajar itu adalah pekerjaan milik Anton, bukan pekerjaan milik Allah (meskipun hamba dan pekerjaannya itu diciptakan oleh Allah).

Yang dimaksud dengan الْكَسْبُ adalah تَعَلُّقُ الْقُدْرَةِ الْحَادِثَةِ (hubungan Qudrot yang baru). Ada juga yang menyebutkan bahwa yang dimaksud kasab adalah الإرَادَةُ الْحَادِثَةِ (kehendak yang baru pada hamba). Definisi lain:
إنَّهُ مَا يَقَعُ بِهِ الْمَقْدُوْرُ مِنْ غَيْرِ صِحَّةِ انْفِرَادِ الْقَادِرِ بِهِ بَلْ وَمِنْ غَيْرِ صِحَّةِ الْمُشَارَكَةِ إذْ لاَ تَأْثِيْرَ مِنهُ بِوَجْهٍ مَا وَإنَّـمَا لَهُ مُـجَرَّدُ الْمُقَارَنَةِ وَالْخَالِقُ الْحَقُّ مُنْفَرِدٌ بِعُمُوْمِ التَّأْثِيْرِ
“Kasab itu adalah sesuatu yang dilakukan hamba sehingga menyebabkan perkara yang diampu terjadi dengan tanpa menyatakan bahwa hasil dari perkara yang diampu tadi adalah hasil perbuatan hamba atau merupakan hasil dari join antara hamba dengan yang lain, sebab hamba sama sekali tidak memiliki andil dalam menghasilkannya melainkan hanya berupa sesuatu yang saling berdekatan antara hamba dan hasil, tapi pencipta sejati-lah yang memiliki pengaruh untuk menentukan hasil termasuk gerak atau kehendak hamba itu”
Umpamanya: Pa Jaja menanam (sesuatu yang dilakukan hamba) padi, lalu padi itu tumbuh (perkara yang diampu terjadi). Tidak bisa dikatakan bahwa tumbuhnya padi (hasil dari perkara yang diampu) adalah hasil upaya Pa Jaja atau hasil join Pa Jaja dengan Allah karena sama sekali Pa Jaja tidak memiliki andil untuk menumbuhkan padi. Loh, kenapa tidak ada andil, padahal kan Pa Jaja yang menanam padi tadi?, tetap saja tumbuhnya padi bukanlah hasil upaya Pa Jaja, sebab nyatanya dilain kesempatan Pa Jaja menanam padi tapi tidak tumbuh, jadi antara Pa Jaja dengan tumbuhnya padi hanyalah sesuatu yang saling berdekatan. Sebab yang memiliki pengaruh dalam menentukan hasil hanyalah Sang Pencipta yang sebenarnya bahkan termasuk gerak Pa Jaja untuk menanam padi pun ada dalam تَأْثِيْرُ اللهِ
  • كُلِّفَ. Yakni seorang hamba ditaklif (dibebani) oleh syara’ untuk melakukan upaya (pekerjaan)
  • وَلَمْ يَكُنْ مُؤَثِّرًا. Meski seorang hamba itu memiliki kasab dan memang syara’ pun menyuruh hal itu, tapi pekerjaan hamba itu tidak mempengaruhi dalam menentukan sebuah kesuksesan. Sebab yang mempengaruhi (الْمُؤَثِّرُ) pekerjaan seorang hamba adalah Allah SWT. 
  • فَلَيْسَ مـَجْبُوْرًا وَلاَ اخْتِيَارًا. Oleh karena لِلْعَبْدِ كَسْبُ, hamba dibebani untuk kasab, maka hamba itu لَيْسَ مَجْبُوْرًا وَلاَ اخْتِيَارً (tidak terpaksa dalam keadaan dia tidak punya kehendak sama sekali)
  • وَلَيْسَ كُلاًّ يَفْعَلُ اخْتِيَارًا. Artinya, Oleh karena وَلَمْ يَكُنْ مُؤَثِّرًا maka hamba وَلَيْسَ كُلاًّ يَفْعَلُ اخْتِيَارًا  (seorang hamba tidak pula melakukan segala sesuatu sesuai dengan kehendaknya). Tegasnya, banyak perbuatan hamba yang dia lakukan tetapi bukan pilihan (kehendaknya) sendiri. Seperti: seseorang yang belajar tetapi tidak memahami pelajaran. Itu kan bukan kehendaknya, sebab kehendak setiap orang yang belajar itu adalah memahami apa yang dipelajarinya. Atau seperti orang yang mengalami kecelakaan dan lain sebagainya.

Dari uraian di atas, hamba hanya memiliki kasab yang dibebankan, sehingga konsekuensinya seorang hamba tidak مَجْبُوْرٌ (sama sekali tidak memiliki upaya), tapi kasab (upaya) hamba tersebut tidak pula sesuai kehendaknya sendiri, oleh karena tidak sekehendaknya sendiri dalam melaksanakan taklif Allah, maka ada campur tangan Allah dalam merekayasa hamba untuk melaksanakan taklif-Nya.
Lalu kenapa seorang hamba diberi pahala atau disiksa?, bukankah semuanya hanyalah rekayasa Allah?

Jawabannya:
فَإنْ يُثِبْنَا فَبِمَحْضِ الْفَضْلِ # وَإنْ يُعَذِّبْ فَبِمَحْضِ الْعَدْلِ
“(oleh karena itu) jika kita diberi pahala, itu semata-mata karena karunia Allah, sedangkan jika kita disiksa, itu semata-mata karena keadilan Allah”
Menurut Ahlussunnah: pelaku perbuatan yang bersifat الإِخْتِيَارِيَة (yang dikehendaki dan diupayakan/ikhtiar) dan الإضْطِرَارِيَةُ (yang tidak dikehendaki dan tidak diupayakan, seperti: kecelakaan) dan segala konsekuensinya itu adalah hamba sedangkan pencipta perbuatan baik الإخْتِيَارِيَةُ maupun الإضْطِرَارِيَةُ dan segala konsekuensinya itu adalah Allah. Pendapat Ahlussunnah ini merupakan bantahan terhadap dua pendapat yang ekstrim dalam penyimpangannya; Jabariyah dan Mu’tazilah

Jabariyah menyebutkan bahwa setiap hamba sama sekali tidak memiliki kasab, melainkan hamba itu dipaksa (fatalism) seperti bulu yang digerakkan oleh angin. Dalam sya’ir mereka sebagai sanggahan pendapat Ahlussunnah:
مَا حِيْلَةُ الْعَبْدِ وَالأَقْدَارِ جَارِيَةٌ # عَلَيْهِ فِيْ كُلِّ حَالٍ أيُّهَا الرَّائِي
أَلْقَاهُ فِيْ الْيَمِّ مَكْتُوْفًا وَقَالَ لَهُ # إيَّاكَ إيَّاكَ أَنْ تَبْتَلَّ بِالْمَاءِ
“Adakah upaya yang dilakukan hamba sedang taqdir setiap keadaan berlangsung padanya, wahai orang yang berfikir?
(Allah) melemparkannya di lautan dalam keadaan terikat, lalu Dia berkata: awas basah!”
Kan tidak masuk akal jika memang hamba masih memiliki kasab (upaya)

Dijawab oleh sebagian Ahlussunnah:
إنْ حَفَّهُ اللُّطْفُ لَمْ يَمْسَسْهُ مِنْ بَلَلٍ # وَلَمْ يُبَالِي بِتَكْتِيْفٍ وَإلْقَاءِ
وَإنْ يَكُنْ قَدَّرَ الْمَوْلَى بِغَرْقَـتِهِ # فَهُوَ الْغَرِيْقُ وَلَوْ أُلْقِي بِصَحْرَاءِ
“Jika kasih sayang Allah meliputinya maka tidak akan terkena basahnya air lautan, dan Allah tidak memperdulikan belenggu dan penjerumusan tersebut
Dan jika Allah memastikan hamba itu tenggelam, maka dia akan tenggelam sekalipun dilemparkan di padang pasir”

Sedangkan Mu’tazilah menyebutkan bahwa  perbuatan hamba diciptakan oleh hamba itu sendiri dengan kekuatan yang Allah berikan padanya. Contoh: Jika seseorang ingin pintar, dia harus belajar, karena dengan belajarnya itu, dia pasti pintar. Contoh lain: Jika seseorang ingin kaya, maka dia harus bekerja karena dengan kerja kerasnya, dia pasti kaya.
Pendapat mu'tazilah ini sangat didasarkan pada akal dan hubungan kausalitas; hubungan sebab-akibat. Padahal, sekeras apapun upaya seseorang, tetap tidak akan melebihi takdirnya. Karena, ia tidak ikut menentukan hasil dari apa yang dia kerjakan. 
Tapi, dalam prakteknya, saya kira alangkah baiknya jika pendapat Jabbariyah dan Mu'tazilah ini dikompromikan. Yakni; Secara bathin kita bersikap Jabbariyah, tapi secara lahir (kasab) kita bersikap Mu'tazilah.
Kesimpulannya: 
Yang wajib dijadikan keyakinan adalah: sebagian perbuatan hamba yang bersifat إخْتِيَارِيّ muncul dari upayanya sendiri, seperti: sholat, mengaji, belajar dan sebagainya, sedangkan sebagian perbuatan lain yang bersifat إضْطِرَارِيّ tidak muncul dari upayanya sendiri, seperti: jatuh, ngantuk, tidak faham ketika belajar, kaget dan sebagainya. Namun, baik kasab yang bersifat ikhtiar atau idltiror, tidak pernah lepas dari pengaturan kekuasaan dan takdir Allah

Oke sobat, demikianlah pembahasan tentang ikhtiar atau kasab dan kaitannya dengan takdir Allah 
Semoga bermanfaat dan mohon maaf
Terima kasih


والسلام عليكم ورحمة الله
Previous
Next Post »

1 komentar:

Write komentar
Trinaleach7
AUTHOR
13 November 2020 at 00:40 delete

Terima kasih atas informasi yang diberikan.
Izin kami beri informasi seputar mesin usaha untuk jualan bensin eceran.
Jual Mesin pom mini digital.
Pengiriman ke seluruh Indonesia.
Gratis Info : 082311159791
Harga Pom Mini

Reply
avatar